Ketika menempuh padang pasir yang panas bagai menyala dalam perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah yang terkenal itu, ia masih merupakan janin dalam rahim ibunya. Takdir bagi Abdullah bin Zubeir melakukan hijrah bersama kaum Muhajirin selagi belum muncul ke alam dunia, masih tersimpan dalam perut ibunya. Ibunya Asma berkata, semoga Allah Ta’ala ridha kepadanya dan ia jadi ridha kepada Allah Ta’ala setibanya di Quba, suatu dusun di luar kota Madinah, datanglah saat melahirkan, dan jabang bayi yang muhajir itu pun masuklah ke bumi Madinah bersamaan waktunya dengan masuknya muhajirin lainnya dari sahabat- sahabat Rasulullah shalallahu’alaihu wasallam. Bayi yang pertama kali lahir pada saat hijrah itu, dibawa kepada Rasulullah shalallahu’alaihu wasallam. di rumahnya Kaum Muslimin berkumpul dan beramai-ramai membawa bayi yang dalam gendongan itu berkeliling kota sambil membaca tahlil dan takbir. Latar belakangnya ialah karena tatkala Rasulullah shalallahu’alaihu wasallam dan para sahabatnya tinggal menetap di Madinah, orang-orang Yahudi merasa terpukul dan iri hati, lalu melakukan perang urat saraf terhadap Kaum Muslimin. Mereka sebarkan berita bahwa dukun-dukun mereka telah menyihir kaum Muslimin dan membuat mereka jadi mandul, hingga di Madinah tak seorang pun akan mempunyai bayi dari kalangan mereka. Anak kecil itu tumbuh dengan amat cepatnya dan menunjukkan hal-hal yang luar biasa dalam kegairahan, kecerdasan dan keteguhan pendirian. Masa mudanya dilaluinya tanpa noda, seorang yang suci, tekun beribadat, hidup sederhana dan perwira tidak terkira. Demikianlah hari-hari dan peruntungan itu dijalaninya dengan tabi’atnya yang tidak berubah dan semangat yang tak pernah kendor. la benar-benar seorang laki-laki yang mengenal tujuannya dan menempuhnya dengan kemauan yang keras membaja dan keimanan teguh luar biasa. Dalam pertempuran tersebut, kaum muslimin yang jumlahnya hanya duapuluh ribu orang tentara, pernah menghadapi musuh yang berkekuatan sebanyak seratus duapuluh ribu orang. Pertempuran berkecamuk, dan pihak Ialam terancam bahaya besar! Abdullah bin Zubeir melayangkan pandangannya meninjau kekuatan musuh hingga segeralah diketahuinya di mana letak kekuatan mereka. Sumber kekuatan itu tidak lain dari raja Barbar yang menjadi panglima tentaranya sendiri. Tak putus-putusnya raja itu berseru terhadap tentaranya dan membangkitkan semangat mereka dengan cara istimewa yang mendorong mereka untuk menerjuni maut tanpa rasa takut. Abdullah bin Zubeir maklum bahwa pasukan yang gagah perkasa ini tak mungkin ditaklukkan kecuali dengan jatuhnya panglima yang menakutkan ini. Tetapi bagaimana caranya untuk menemuinya, padahal untuk sampai kepadanya terhalang oleh tembok kukuh dari tentara musuh yang bertempur laksana angin puyuh. Tetapi semangat dan keberanian Abdullah bin Zubeir tak perlu diragukan lagi untuk selama-lamanya. Hanya kepahlawanannya dalam medan perang bagaimana juga unggul dan luar biasanya, tetapi itu tersembunyi di balik ketekunannya dalam beribadah. Maka orang yang mempunyai tidak hanya satu dua alasan untuk berbangga dan menyombongkan dirinya ini akan menakjubkan kita karena selalu ditemukan dalam lingkungan orang[1]orang shaleh dan rajin beribadat. Maka baik derajat maupun kemudaannya, kedudukan atau harta bendanya, keberanian atau kekuatannya, semua itu tidak mampu untuk menghalangi Abdullah bin Zubeir untuk menjadi seorang laki-laki ‘abid yang berpuasa di siang hari, bangun malam beribadat kepada Allah Ta’ala dengan hati yang khusuk niat yang suci. Pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz mengatakan kepada Ibnu Abi Mulaikah, “cobalah ceritakan kepada kami kepribadian Abdullah bin Zubeir!” Maka ujarnya, “demi Allah! Tak pernah kulihat jiwa yang tersusun dalam rongga tubuhnya itu seperti jiwanya! Ia tekun melakukan shalat, dan mengakhiri segala sesuatu dengannya ia rukuk dan sujud sedemikian rupa, hingga karena amat lamanya, maka burung-burung gereja yang bertengger di atas bahunya atau punggungnya, menyangkanya dinding tembok atau kain yang tergantung. Dan pernah peluru meriam batu lewat antara janggut dan dadanya sementara ia shalat, tetapi demi Allah Ta’ala, ia tidak peduli dan tidak goncang, tidak pula memutus bacaan atau mempercepat waktu rukuknya”. (Rin/berbagai sumber)
Baca Artikel lainnya di Majalah Sahabat Online
